KEBUDAYAAN KERAJAAN SRIWIJAYA
Di Kerajaan Sriwijaya dihuni pemukiman yang padat, dan telah mengenal berbagai bidang keahlian. Ada kelompok masyarakat yang ahli di bidang kerajinan Tembikar, manik-manik, pengecoran logam, dan yang tidak kalah pentingnya yaitu ahli bangunan. Adanya tiang kayu yang jumlahnya relatif banyak dan relatif luas, akhirnya dapat memberi petunjuk bahwa pesisir Sumatra Selatan tidak pernah mengalami perubahan garis pantai yang signifikan sejak masa sebelum hingga masa sejarah.
Selain itu juga ditemukan prasasti-prasati dalam pemerintahan ini. Antara lain :
1. Prasasti Kedukan Bukti berangka tahun 682 masehiyang berisi kemenangan kerajaan Sriwijaya dari perjalanannya yang berhasil dan seluruh negeri memperoleh kemakmuran.
2. Prasasti yang ditemukan di daerah Talang Tuo yang angka tahunnya masehi yang berisi tentang pembuatan taman Sriksetra atas perintah Punta Hyang Sri Jayanasa untuk kemakmuran semua makhluk hidup serta ada juga doa dan harapan yang jelas menunjukkan sifat agama Buddha.
3. Prasasti di Daerah Telaga Batu yang berbahasa melayu kuno dan ditulis dengan huruf Pallawa yang terutana beerisi tentang kutukan-kutukan terhadap siapa saja yangmelakukan kejahatan dan tidak taat pada perintah raja.
4. Prassasti Kota Kapur yang berangka tahun 28 April 686 Masehi yang berisi tentang kutukan kepada siapa saja yang berbuat jahat, tidak tunduk, dan tidak setia kepada Raja serta tentang usaha Sriwijaya untuk menaklukkan bhumi jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya.
5. Prasasti Karang Brahi dan Prasasti Palas Pasemah yang didalamnya memuat angka tahun dan usaha penyerangan ke bhumi jawa
6. Prasasti Bungkuk yang isinya memuat kutukan seperti prasasti Sriwijaya yang lain
Dari sini bisa dilihat bahwa Kerajaan Sriwijaya mengeluarkan prasasti yang berisi kutukan bisa dipandang sebagai pernyataan kekuasaan Sriwijaya. Dan juga ditunjukkan kepada musuh-musuh di dalam negeri Sriwijaya.
Selain prasasti di atas juga ada prasasti singkat yang berupa dua buah Fragmen prasasti dari tanah liat yang isinya tentang kemenangan raja Sriwijaya atas tentaranya sendiri yang membangkang bukan musuhnya dari luar. Dan penemuan 2 buah candi dari batu putih dari awal abad VI.
KEADAAN POLITIK KERAJAAN SRIWIJAYA
Sriwijaya merupakan sosok kerajaan yang besar di Nusantara, hingga kebesarannya tersohor sampai keluar negeri. Hal ini tidak dapat terlepas dari kerajaan-kerajaan kecil yang berada di bawah kekuasaan kerajaan sriwijaya tersebut. G Ferrand dalam Dewa Gede Agung (1992:70) mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya sudah ada di Sumatra Selatan sejak tahun 392 M.
Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, setelah Kerajaan Sriwijaya berhasil didirikan di Palembang, sekitar tahun 682 M kerajaan ini mulai mengusai daerah Jambi (Melayu) dengan bukti adalah Prasasti Persumpahan Karang Berahi di Jambi. Kemudian dalam prasasti kota kapur tahun 686 M, Sriwijaya menjadikan Jawa sebagai sasaran yang akan di taklukkan, bukan hanya Jawa Barat, mungkin juga Jawa Timur yang menjadi sasarannya, hal ini dapat dibuktikan kekuasaan kerajaan Sriwijaya mengalami pergeseran luas kerajaan semakin ke timur. Hal ini terus terjadi hingga zaman Kerajaan Kadiri. Sehingga wilayah Indonesia timur dikuasai oleh kerajaan Kadiri dan wilayah Indonesia bagian barat dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya berdasar pemberitaan Ohu-Fan-Chi. (Sumber: Sejarah Indonesia Lama 1 oleh Dewa Gede Agung)
Dalam perkembangan sejarah di Indonesia Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan yang besar dan megah. Namun demikian tidak semua raja-raja yang pernah memegang tampu kekuasaan meninggalkan prasasti. Raja-raja yang diketahui pernah memimpin Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai berikut:
1. Raja Dapunta Hyang
Sumber sejarah ataupun berita mengenai Raja Dapunta Hyang ini di dapat berdasarkan prasasti kedukan bukit sekitar tahun 682 M. Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang berhasil memperluas kekuasaannya sampai ke daerah Jambi. Dari sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang sudah berharap kelak kerajaan sriwijaya menjadi sosok negara maritim di nusantara.
2. Raja Balaputra Dewa
Kerajaan Sriwijaya mengalami masa keemasan di kala tampo pemerintahan di pimpim oleh Raja Balaputra Dewa. Pada awalnya Raja Balaputra Dewa berasal dari dinasti syailendra. Ketika terjadi perang saudara di dinasti syailendra yang melawan kakaknya (Pramodhawardani), dia mengalami kekalahan. Akibat dari kekalahan tersebut Raja Balaputra Dewa lari ke Sriwijaya.
3. Raja Sanggrama Wijayatunggawarman
Pada saat pemerintahannya kerajaan Sriwijaya mengalami banyak serangan dari Kerajaan Chola yang dipimpin oleh Raja Rajendra Chola. Kerajaan Chola melakukan serangan hingga akhirnya kerajaan Sriwijaya dapat dikuasai oleh Kerajaan Chola, sementara itu Raja Rajendra Chola berhasil ditahan. Akan tetapi pada saat tampo kekuasaan Chola di bawah Raja Kulottungga I, Raja Sanggrama Wijayattunggawarman dibebaskan kembali.
KEADAAN EKONOMI KERAJAAN SRIWIJAYA
Letak geografis sumatra baik sekali untuk turut serta dalam kegiatan perdagangan internasional yang mulai berkembang antara india dengan daratan Asia Tenggara sejak awal tarikh masehi. Letak selat malaka mengundang perdagangan di daratan Asia Tenggara untuk meluas ke selatan.
Menurut poesponegoro (2008:99) Hal ini terjadi pada abad XII. Sejak masa itu sumatra tidak tampak lagi sebagai kesatuan. Pada tahun 1178, kapal-kapal cina sudah berlabuh di lamuri di sumatra utara sambil menunggu angin musim yang baik. Pelbagai kerajaan kecil di sumatra mulai mengirimkan utusan mereka seperti kampe yang telrletak di pantai timur sumatra utara
Untuk kepentingan perdagangannya, sriwijaya tidak keberatan untuk mengakui bangsa cina sebagai negara yang berhak menerima upeti. Ini adalah sebagian dari usaha diplomatik sriwijaya untuk menjamin agar cina tidak membuka perdagangan langsung dengan negeri lain di Asia tenggara sehingga akan merugikan perdagangan sriwijaya. Berkat perdagangan dengan cina dan india, sriwijaya telah mendapatkan keuntungan besar dan mengumpulkan kekayaan yang besar
Selain memiliki kekayaan yang besar dan kekuatan yang besar, kerajaan sriwijaya juga memenuhi kewajibannya kepada mereka yang berdagang dengannya serta menjamin keamanan jalur-jalur pelayaran yang menuju ke sriwijaya.
PRASASTI-PRASASTI KERAJAAN SRIWIJAYA
Terdapat beberapa prasasti yang di tinggalkan oleh kerajaan Sriwijaya, di antarnya:
A. Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti ini terdapat di Kedukan Bukit di tepi sungai Tatang, di dekatnya Palembang. Oleh penduduk setempat prasasti yang berbentuk batu tertulis ini sangat di keramatkan. Misalnya saja saat di adakannya lomba bidar(perahu) di sungai Musi, perahu-perahu itu akan di tambatkan terlabih dahulu pada batu tersebut dengan harapan mendapat kemenangan. Dari isi yang terdapat dalam prasasti tersebut dapat di simpulkan yaitu :
· Terdapat nama Raja didalamya yaitu Hyang di Pertuan Hyang atau dapunta Hyang.
· Tempat asal pemberangkatannya yaitu Minangatamwan dan berakhir mencapai suka cita di Matayap.
· Kedatangannya membawa perahu sebagai alat transportasinya.
Menurut bapak Porbotjaraka dalam buku Sejarah Indonesia Lama 1(1991:63) yaitu:
Minangatamwan adalah Minangkabau dengan dasar kata Minangatamwan berasal dari kata “Minanga” dan “Tamwan”. Kata Tamwan adalah temuan(dalam bahasa Jawa Temon)... yang bertemu adalah sungai Kampar yaitu Kampar kanan dan Kampar kiri, (nama Kampar juga beraati kembar). Kata kembar berevolusi menjadi Kampar dan terakhir adalah Kabau). Di dalam prasasti ini di jelaskan perjalaannya mengguanakan perahu, tetapi ada beberapa pendapat bahwa perjalanan menggunakan perahu tidaklah harus melewati laut tetapi juga bisa di sungai, mengingat sungai-sungai yang ada di Sumatra banyak dan di mungkinkan sejak dulu sudah di lewati oleh kapal-kapal asing.Dalam prasasti ini juga berisi kata “marwuat wanua” yang berarti mendirikan sebuah wanua atau kota. Ada juga beberapa anggapan atau pendapat dari para ilmuan tentang prasasti ini, yaitu pembentukan Sriwijaya dan bukti proklamasi negara sriwijaya. Dan ada juga yang menafsirkan bahwa prasasti Kedukan Bukit senagai upaya memperingati ekspedisi Sriwijaya menaklukan Kamboja yang di perintah oleh Raja Jayawarman I.
B. Prasasti Telaga Batu (683)
Prasasti ini terdapat di telaga
batu, Palembang pasa tahun 1935. Ada juga pendapat tentang prasasti ini yaitu
ada y6ang mengatakan batu-batu tersebut di bust kerajaan Sriwijaya dalam
mengadakan perjalanan suci untuk mendapatkan kesaktian. Selain itu dalam
prasasti ini juga terdapat informasi tentang pejabat-pejabat kerajaan seperti
Yuvaraja, Pratiyuvaraja, Rajakumara yang di mungkinkan para putra raja,
Senapati, nayaka, pratyaya, hajipratya sebagai para pemimpin angkatan
bersenjata, para cendekiawan.
C. Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini di temukan di Pulau
Bangka dengan angka tahun 608 C atau 686 M. Dari prasati ini terdapat
inforamasi tentang serangan Sriwijaya terhadap Jawa. Dari inforamsi tersebut
ada beberapa ilmuan yang berpendapat bahwa hal itu di kaitkan dengan serangan
yang terjadi di kerajaan Tarumanegara. Tetapi juga masih di ingat bahwa Dinasti
Tang pernah menginformasikan terdapat kerajaan Ho-ling yang terletak di Jawa.
Tetapi di dalam buku Sejarah Indonesia Lama I bapak Buchari mengemukakan
pendapatnya bahwa prasasti Kota Kapur di keluarakan oleh tentara Sriwijaya yang
telah kembali dalam usahanya menaklukan Lampung Selatan.
D. Prasasti Nalanda
Prasasti ini di temukan di Bihar,
India timur yang di perkirakan dari tahun 860 M. Di dalam prasasti inin
menguraikan pemerintahan raja Balaputradewa adalah anak Swarnadwipa kepada raja
Benggala Dewapaladewa dari untuk mendiriksn vihara di Nalanda. Di sebutkan juga
bahwa Samaragrawira anak raja Jawa (Jawa Bhumi) yang menjadi mustika raja
sailendra dan yang di juluki “wirawairimathana”(pembunuh perwira musuh)
E. Prasasti Ligor
Prasasti ini terdapat di Tanah
Genting Kra, Semenanjung Malayu. Prasasti ini berangka tahun 775 M dan terdiri
dari dua bagian yaitu bagian depan yang di kenal dengan Ligor A dan bagian
belakang dengan ligor B. Bagian A mengandung pujian terhadap Sriwijaya yang
menyebutkan” Sriwijaya Swarabupati”. Sedangkan bagian b, memberiakan
penghormatan kepada raja Sailendra yang disebut “Saelendrawamsaprabhunigadatha
srimaharajanama” dan sri Maharaja wisnu sebagai pembunuh musuh dengan sombong.
Runtuhnya kerajaan
Sriwijaya di sebabkan oleh beberapa faktor, yaitu karena adanya kekuasaan di
semenanjung juga Kekuasaan di Sumatera, dan di sini saya akan mencoba menjelaskan
faktor-faktor tersebut.
· Kekuasaan di Semenanjung
Sejak abad ke IX kita tidak mengenal lagi nama
Shi-li-fo-shi atau
Kin-li-fo-che yang diindentikan dengan nama
Sriwijaya, tapi kita mulai mengenal nama San-fo-ts’i. kerajaan San-fo-ts’i
terkenal dengan tentaranya sangat pandai dan tangkas baik di darat maupun di
laut. Dalam buku Ling-wai-tai-ta tahun 1178 disebutkan bahwa kerajaan
San-fo-ts’i adalah kerajaan Chan-pi (Jambi).
Kai-lo-hi
adalah salah satu negara bawahan San-fo-ts’i di pantai timur semenanjung.
Kai-lo-hi adalah transkripsi Tionghoa dari nama asli suatu tempat di pantai
timur semenanjung.Berita tentang letak Chen-la dalam Sung-shih menyinggung nama
Kai-lo-hi. Beritanya adalah sebagai berikut : Chen-la (kamboja) bertemu dengan
bagian selatan Chan-cheng (Annam), disebelah timur Chen-la adalah laut. Di
sebelah barat, Chen-la berbatasan dengan P’u-kan (pagan), dan di sebelah
selatan beradu batas dengan Kia-lo-hi.
Dari
berita itu dapat di nyatakan bahwa Kia-lo-hi terletak disebelah selatan kamboja.
Menurut Muljana (2006:279)”Tidak ada orang yang ragu bahwa Kia-lo-hi adalah
transkripsi dari nama tempat Grahi, yang tercatat pada piagam Sriwijaya yang
ditemukan di Ch’ai-ya”. Nama Grahi sebagai nama tempat yang sudah tidak dikenal
lagi pad azaman sekarang, dengan sendirinya lokasi Grahi merupakan tempat
penemuan arca Budha yang memuat piagam tersebut, yakni di Ch’ai-ya. Menurut
kebiasaan,bangsa Siam suka menggunakan kata-kata Sansekerta sebagai nama tempat,
sebagai contoh adalah nama Nakon Sri Tammarat, nama tersebut juga digunakan
untuk menyebut daerah Ligor sesudah menjadi jajahan Siam,- Nama Sri Tammarat
itu sendiri diambil dari nama tokoh sejarah, yakni Chandrabhanu Cri
Dharmmaraja, yang tercatat pada piagam Chandrabhanu yang juga di temukan di Ch’ai-ya.
Sudah
pasti bahwa tahun 1230 nama Grahi masih dikenal, karena Chu-fan-chi yang
disusun pada tahun1225 masih menyebut Kia-lo-hi. Jika ingin membedakan kedua
piagam tersebut, yang kedua-duanya sama-sama ditemukan di Ch’ai-ya, maka kita
dapat menyabutnya dengan sebutan piagam Trailoknya dan piagam Chandrabhanu,
tetapi hingga sekarang piagam itu dikenal dengan sebutan piagam Grahi Buda dan
Piagam Ch’ai-ya. Tahun 1183 Grahi jelas masih menjadi negeri bawahan Sriwijaya,
pada tahun 1230 Candrabhanu mengeluarkan piagam di Grahi dan menyebut dirinya Tambralinggecwara,maka
boleh dipastikan bahwa Candrabhanu memberontak kekuasaan sriwijaya. Setelah
membebaskan Tambralingga dari kekuasaan sriwijaya, candrabhanu mengangkat
dirinya sebagai raja Tambralingga dan bergelar Candra Sri Dharmaraja.. kemudian
memperluas daerahnya sampai di Grahi, Candrabhanu mengumumkan bahwa ia
menjalankan politik Dharmacoka, politik tersebut artinya adalah politik
Asoka di India. Ia akan berusaha mengembangkan agama Budha.
Demikianlah,
timbulnya candrabhanu berarti patahnya kekuasaan sriwijaya di Malaya dan juga
berakhirnya pemerintahan rajakula Sailendra di daerah tersebut. Tujuan
Candrabhanu membuat politik tersebut mempunyai maksud untuk memperoleh sokongan
para penduduk Grahi sepenuhnya, karena candrabhanu masih bermaksud memperluas
wiliyahnya di luar Malaya. Demikianlah kiranya pemberontakan candrabhanu
terhadap kekuasaan sriwijaya yang terjadi antar tahun 1225 dan 1230. Untuk
menghindari balas dendam Sriwijaya, pemberontakan harus segera diperluas di
seluruh semenanjung, dan menikam pusat kekuasaan Sriwijaya di Semenanjung yang
terletak di Kedah.
·
Kekuasaan di Sumatera
Gelar raja Sriwijaya yang
tercantum pada piagam Grahi (tahun 1183) ialah crimat Trailokyaraja
Mauplibhusanawarmadewa. Nama resminya menggunakan
kata mauli. Baik crimat maupun mauli adalah kata Tamil
crimat berarti “tuan” dan mauli berarti “mahkota”. Crimat dan mauli merupakan sebuah gelar yang tidak dikenal pada mas apemerintahan Rajakula
Sailendra,gelar tersebut hanya dikenal pada raja-raja Melayu. Pada piagam
Amoghapaca hadiah raja Kertanegara kepada raja Melayu pada tahun 1286, terdapat nama dan gelar yang
sama bagi raja melayu. Diberitakan bahwa pada tahun saka 1208 atau tahun masehi
1286, arca Amoghapaca dengan 14 pengikutnya, hadiah sri Wicwarupakumara, di
angkut dari jawa ke suwarnabhumi dan di tempatkan di Dharmmacaya atas perintah
Maharajdhiraja Cri Kertanagara Wikrama Dharmotunggadewa.
Piagam Amoghapaca ditemukan di tepi sungai Langsat
di hulu Batang Hari, itulah sebabnya maka timbul anggapan bahwa Dharmmacraya
terletak di hulu Batang Hari. Piagam Amoghapaca dikeluarkan 100 tahun sesudah
piagam Grahi, namun gelar dan nama rajanya tetap sama. Oleh sebab itu timbul
anggapan bahwa raja Trailokya Maulibhusanawarmadewa adalah raja Melayu. Dengan
kata lain, pada tahun 1183 kerajaan sriwijaya yang biasa disebut San-fo-ts’i
dalam berita-berita Tionghoa zaman rajakula Sung dan Ming, telah runtuh dan
digantikan oleh kerajaan Melayu. Semenanjung tidak lagi di perintah Sriwijaya,
tetapi diperintah oleh kerajaan Melayu.
Demikianlah antara tahun
1178-1183, dalam kerajaan sriwijaya terjadi perubahan pemerintahan. Kekuasaan
sriwijaya di Sumatera diambil alih oleh Melayu, dengan sendirinya negeri-negeri
bawahan sriwijaya, baik yang ada di Sumatera maupun yang ada di semenanjung
ikut diambil alih oleh kerajaan Melayu. Raja melayu yang mengambil alih
kekuasaan ialah crimata Trailokya Maulibhusanawarmadewa. Karena kekuasaan raja
Trailokya tidak hanya terbatas pada wilayah kerajaan melayu lama, maka gelar maharaja
yang biasa di pakai oleh raja-raja Sriwijaya dari rajakula sailendra
diambil alih pula.
Daftar Rujukan
Agung,D.A.G.1991. SEJARAH
INDONESIA LAMA I. Malang: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Institut
Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Malang.
Muljana.S.2006. SRIWIJAYA
. Yogyakarta: PT LKiS Yogyakarta.
Tim Nasional Penulisan
Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional
Indonesia: Zaman Kuno (jilid II). Jakarta: Balai Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar